Jumat, 21 Desember 2018

Memaknai Hari Ibu dari Sejarah, biar tidak salah Kaprah.

Foto: Jogja.tribunnews

Oleh: Fitri Noviyanti

Hari Ibu di Indonesia dirayakan secara nasional pada tanggal 22 Desember. Tanggal ini diresmikan oleh Presiden Soekarno di bawah Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959, pada ulang tahun ke-25 Kongres Perempuan Indonesia 1928. Penetapan 22 Desember sebagai peringatan Hari Ibu mengacu pada pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia I yang dihelat tanggal 22-25 Desember 1928, atau hanya beberapa pekan setelah Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Kongres tersebut dilangsungkan di Yogyakarta, tepatnya di Ndalem Joyodipuran. Sekarang, gedung itu digunakan sebagai Kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional yang terletak di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta. Kongres ini dihadiri oleh sekitar 30 organisasi wanita yang tersebar di kota Jawa dan Sumatera. Selain itu, kongres ini juga dihadiri oleh wakil-wakil dari Boedi Oetomo, PNI, PSI, Jong Java, Muhammadiyah, dan organisasi pergerakan lainnya.

Pertemuan yang dilakukan dari 22 sampai 25 Desember 1928 itu membahas tentang pertalian perkumpulan perempuan di Indonesia dan juga membicarakan kewajiban, keperluan dan kemajuan perempuan. Pada masa pergerakan, isu utama yang sedang hangat adalah mengenai pendidikan perempuan bagi anak gadis, perkawinan anak-anak, kawin paksa, permaduan dan perceraian secara sewenang-wenang. Ketika itu perempuan dianggap hanya disiapkan menuju perkawinan. Perempuan dianggap hanya sebagai istri, ibu, dan pengurus rumah tangga atau sering disebut "Dapur, Sumur, Kasur" . Setelah itu, perempuan hanya pasrah melayani keluarga beserta suaminya. Perempuan hanya berada pada ranah domestik, Perempuan di masa itu banyak yang mendapatkan talak dari suaminya. Otomatis mereka yang tak berpendidikan akan dikembalikan kepada keluarganya. Maka dari itu, Kongres Perempuan Pertama untuk menyuarakan pentingnya perempuan Indonesia atas haknya. Salah satu hasil keputusannya adalah dibentuknya organisasi mandiri yang bernama Perikatan Perkoempoelan Isteri Indonesia (PPII).

Berawal dari kongres itulah, akhirnya peran perempuan mulai mewarnai pergerakan Indonesia. Mereka mempunyai wadah resmi untuk menyuarakan pendapat dan haknya. Setelah kongres pertama, juga dilakukan Kongres ke II dan ke III. Akhirnya dalam Kongres ke III pada 22 sampai 27 Juli 1938 di Bandung disitulah diputuskan untuk menghargai jasa-jasa tentang perempuan setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu.
Lalu bagaimana masyarakat Indonesia memperingati hari ibu pada saat ini?
Pada hari ini sosial media mungkin dipenuhi dengan status "Selamat Hari Ibu" , upload foto dengan ibu bahkan memberikan hadiah kepada ibu, ada juga yang bagi-bagi bunga baik di pasar maupun ditempat-tempat umum lainnya. Sah-sah saja karena di Indonesia sendiri tidak memiliki tradisi khusus untuk memperingati hari ibu, lebih bersifat personal masing-masing pribadi punya cara sendiri untuk memperingati. Penulispun juga tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada Ibu yang telah memperjuangkan pendidikan sampai dengan lulus perguruan tinggi serta yang membela ketika lulus SMA Tidak boleh menikah usia remaja, "Pendidikanmu harus tinggi ,jangan seperti aku putus sekolah lalu menikah, kau harus lebih hebat dariku" ujar Ibu.

Berbicara Hari Ibu, dari beberapa orang yang diajukan pertanyaan mengenai kenapa tercetus hari ibu? rata-rata menjawab "untuk menghargai ibu karna telah melahirkan dan berjasa merawat sampai saat ini", bahkan ada " Ibu ahlinya dapur, sumur dan kasur". mungkin saja paradigma ini sudah membudaya sampai sekarang. Namun ada hal yang lebih lelucon menurut pribadi yakni Himbauan dari Gubernur Bengkulu yang tertera pada selembar kertas pada tanggal 18 Desember 2018 pada surat himbauan point 3 "Pada peringatan hari ibu tanggal 22 Desember 2018 Sebagai ungkapan rasa sayang dan terimakasih kepada para ibu agar kiranya para suami membebastugaskan ibu dari tugas domestik yang sehari-hari di anggap merupakan kewajiban seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya", dari pernyataan tersebut seolah-olah bahwa tugas ranah domestik hanyalah tugas seorang Ibu, lalu suami membebastugaskan hal tersebut, sekelas orang nomer 1 di Bengkulu rasanya aneh masih membahas hal ini, seharusnya sudah tuntas dan faham mengenai hal seperti ini, dalam merawat anak, memasak dan semacamnya sudah menjadi tugas bersama antara suami dan istri. Dalam surat himbauan tersebut PHI 2018 mengusung tema "Bersama meningkatkan peran perempuan dan laki-laki dalam membangun ketahanan keluarga untuk kesejahteraan bangsa" , jelas bahwa disebutkan perempuan dan laki-laki artinya suami dan istri harus sama-sama dalam membagi peran, tidak ada lagi ketimpangan untuk sebuah kesejahteraan bangsa. Pernyataan point 3 rasanya semakin mempatriarkikan perempuan apalagi himbauan itu ditunjukan untuk Peringatan hari ibu yang jika kita lihat sejarahnya adalah bagiamana perempuan pada waktu itu memperjuangkan hak-haknya dalam pendidikan , ranah publik tidak semata-mata perempuan hanya ranah domestik. Akan lebih baik jika pemerintah dalam momentum hari Ibu dapat menaikan gaji Buruh Perempuan , memberikan beasiswa terhadap anak-anak perempuan yang putus sekolah, aturan pernikahan dini , atau menghimbau Puskesmas agar melaksanakan pemeriksaan kesehatan gratis di daerah bagi para perempuan, serta pengobatan gratis penyakit yang acap kali diderita perempuan seperti kanker payudara , kanker rahim dan semacamnya.



Peringatan hari ibu bukan hanya Simbolisme semata,  seharusnya peringatan Hari Ibu tidak hanya dimaknai sebagai hari mengungkapkan kasih sayang kepada dan memanjakan ibu. Itu tidak salah, namun makna hari ibu yang sesungguhnya seharusnya kita dapat mengambil semangat yang dimiliki para pahlawan wanita seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, dan Rangkayo Rasuna Said. Semangat mereka adalah semangat memperjuangkan hak-hak perempuan.

Setiap orang punya cara masing-masing untuk memperingati hari ibu, menyayangi ,menghormati ibu sudah wajib bagi kita semua,tidak hanya pada hari ibu. Namun yang harus sama-sama kita refleksi hari ibu ini adalah momentum mengenang , menghargai semangat kaum perempuan dalam pergerakan memperjuangkan hak-haknya serta menegakan dan mengisi Kemerdekaan.
Selamat Hari Ibu..


Bengkulu, 22 Desember 2018

Sabtu, 08 Desember 2018

"16 HAKTP : Menghentikan Kekerasan, Mulailah dari dalam Diri"



Oleh: Fitri Noviyanti

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) adalah kampanye internasional yang bertujuan untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia mulai dari tanggal 25 November sampai dengan 10 Desember.

Kekerasan adalah perlakuan menyimpang yang mengakibatkan luka dan menyakiti orang
lain. Kekerasan tidak hanya pada fisik, namun juga psikis . Menurut KUHP pasal 89, kekerasan adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil atau sekuat mungkin secara tidak sah sehingga orang yang terkena tindakan itu merasakan sakit yang sangat. Dapat disimpulkan bahwa kekerasan adalah segala bentuk yang menyakiti seseorang, baik itu secara Fisik  , maupun psikis.

Ada berbagai bentuk kekerasan, diantaranya
1. kekerasan Fisik , yakni kekerasan yang melibatkan kontak langsung dengan tubuh yang mengakibatkan cidera dan lain-lain.
2. Kekerasan Psikis (verbal) adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan seseorang, hilangnya rasa percaya percaya diri sehingga berpengaruh pada psikis seseorang, contohnya adalah perbuatan menghina atau yang berhubungan dengan verbal.
3. Kekerasan Seksual, yakni  ketimpangan relasi kuasa yang dimaksud antara laki-laki dan perempuan banyak jenis kekerasan seksual diantarnya pemerkosaan, perbudakan seksual , prostitusi dan lainnya
4. Kekerasan Ekonomi yakni ketimpangan antara penghasilan contohnya dalam keluarga, ketika si ibu menggunakan gaji untuk memikirkan kebutuhan dapur, sedangkan si bapak tidak memikirkan keperluan rumah melainkan dihabiskan untuk kepentingan sendiri seperti ngopi ataupun minum (contoh ya).

Banyak penyebab mengapa terjadi kekerasan terhadap perempuan , salah satunya adalah budaya patriarki yang sudah sejak dulu belum terbasmi, ataupun pelaku dulunya adalah korban dan masih banyak yang menjadi penyebab terjadinya kerasan terhadap perempuan.
Data dari CATAHU( Catatan Tahunan) Komnas Perempuan Tahun 2018 Ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun
2017. Sedangkan di Bengkulu dilansir dari www.potretraffesia.com Yayasan PUPA mencatat sejak januari hingga oktober 2018 menemukan 113 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Angka tertinggi terjadi pada bulan Januari 2018 sebanyak 26 kasus. Data dikumpulkan berdasarkan hasil pendokumentasian oleh Yayasan PUPA. Namun yang terdata hanyalah korban yang melapor, bagaimana dengan mereka yang takut melapor? Atau bahkan menganggap sebagai aib sehingga enggan untuk melapor, belum lagi kekerasan secara psikis yang hanya dirasakan oleh korban dan sulit untuk dibuktikan, layaknya gunung es dimana masih banyak korban yang tidak terlihat dibandingkan yang terlihat. Belum disahkannya Rancangan Undang-undang penghapusan kekerasan seksual juga turut memperburuk keadaan.

STOP kekerasan terhadap perempuan! Mulailah dari diri kita sendiri untuk menghentikan kekerasan, putuskan doktrin-doktrin patriarki, bantulah korban untuk penyembuhan psikologis. Selanjutnya hal-hal yang kecil yang dapat dilakukan dengan sosialisasikan dengan sahabat, tetangga , adik ,kakak, dan siapa saja, ya tentu bentuk sosialisasinya dengan  ketika sedang mengobrol santai, menyeduh kopi bersama, lakukan layaknya kegiatan mengobrol seperti biasa. itu merupakan  bentuk kampanye yang bisa kita lakukan sehari-hari untuk  persoalan  kekerasan terhadap perempuan. Selain itu sebagai Perempuan maupun laki-laki harus bisa seimbang dalam kehidupan, seimbang yang dimaksudkan adalah saling membantu satu sama lain agar tidak terjadinya ketimpangan sosial. Khusus untuk para perempuan calon ibu yang akan melahirkan generasi bahwa Sekolah pertama bagi anak adalah seorang ibu, maka jadilah ibu yang cerdas dan berahlaq mukia yang bisa membina, mendidik untuk anak-anak kelak, ajarkan sejak dini mengenai pendidikan seks, bukan lagi hal yang tabuh soal pendidikan seks, itu merupakan upaya preventif untuk tidak ada lagi tindak  kekerasan terhadap perempuan maupun anak.

Mari gerak bersama untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak "dengar" dan "dukung". Dengar, jika ada perempuan, anak-anak, atau siapapun yang mengalami kekerasan. Dan dukung, jika ada perempuan, anak-anak, atau siapapun yang terpuruk karena kekerasan. Temani mereka, dan bergerak bersama untuk mencegah kembali terjadinya kekerasan. Mulai bicara! Tegur pelakunya, ceritakan kepada orang lain, lapor kepada pihak yang berwenang atau ke Lembaga Bantuan Hukum terdekat. Mari kita #gerakbersama dan menunjukkan kepedulian!

Hidup Perempuan!

Bengkulu, 08 Desember 2018

#gerakbersama #sahkanRUUpenghapusanKekerasanSeksual #StopKekerasan
#kohati #hmi

Minggu, 29 Juli 2018

Foto Ijaza Berjilbab Buat Surat Pernyataan??





Menjelang wisuda yang akan dilaksankan pada bulan September 2018 hal yang mengejutkan terjadi, bahwa adanya sayarat wisuda yang mengharuskan bagi mahasiswi (perempuan) yang berjilbab membuat “Surat Pernyataan Berjilbab” dan ditandatangani dengan menggunakan materai 6000 serta diketahui oleh orang tua atau wali merupakan diskriminasi. Menjadi Universitas yang Semarak, Religius dan Unggul dalam Penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi  rasanya bertolak belakang dengan peraturan tersebut, konsep Religi  merupakan kata sifat yang kata bendanya adalah religi yang berarti kepercayaan kepada Tuhan; kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia (KBBI, 2001:943). Dari konsep religi yang berarti kepercayaan kepada Tuhan, setiap orang memiliki kepercayaan masing-masing dan bagi yang muslim salah satunya adalah mengenakan jilbab. Berita  soal larangan memakai cadar di kampus UIN Sunan Kalijaga yang akhirnya dicabut kembali, rupanya bukan menjadi berita terakhir,  masih banyak diskriminasi-diskriminasi di dalam kampus dari soal nilai semester, larangan ikut kegiatan-kegiatan hingga pada diskriminasi soal mengenakan jilbab.
Yang mejadi pertanyaan adalah apa landasan ataupun dasar hukum dari pernyataan mengenakan jilbab, di papan pengumuman juga tidak tertera hal demikia. Ditinjau dari sisi hukum, kebijakan tersebut cenderung bertentangan dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Has Asasi Manusia, Pasal 1 Ayat 3, yang berbunyi: Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupanbaik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, social, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Dalam surat pernyataan yang berisi Nama, NPM, Prodi, Alamat dan isi pernyataan “ menyatakan bahwa saya menyerahkan pas foto diri dengan mengenakan jilbab untuk dipasang pada Ijaza saya. Atas segala kosekuensi yang timbul dikemudian hari. Sehubungan dengan pemasangan foto saya di ijaza tersebut adalah menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya dan saya tidak akan menuntut Fakultas.................... Prodi................. Universitas............... dikemudian hari” dan ditandatangani di atas materai 6000 serta mengetahui orang tua/wali. Mengenakan jilbab merupakan tanggung jawab dari masing-masing individu , segala kosekuensi tentunya sudah menjadi tangung jawab masing-masing. Dibeberapa kampus di Bengkulu bahkan sudah tidak lagi membuat pernyataan-pernyataan berjilbab , foto ijaza berjilbab atau tidak, tak menjadi masalah. Jika ijaza dengan foto berjilbab mempengaruhi dalam hal pekerjaan ataupun profesi kembali lagi dengan tanggung jawab masing-masing. semua orang memiliki kebebasan dalam memilih, tak ada masalah mengenakan jilbab atau tidak, namun yang berkeyakinan untuk berjilbab dan harus membuat surat pernyataan rasanya aneh saja.

Lalu bagaimana Jika tidak  membuat surat pernyataan tersebut, karena menurut sebagian mahasiswi melanggar  Hak Asasi saya sebagai seorang manusia merdeka yang dilindungi oleh Negara melalui UUD 1945, apakah nantinya tidak akan memperoleh Ijazah yang menjadi Hak atas predikat LULUS yang sudah di terima?

Fitri Noviyanti 

Selasa, 26 Juni 2018

Soal HATI dan KOHATI

Soal HATI Dan KOHATI



 oleh : Fitri Noviyanti

Berbicara soal korps HMI-Wati  yang di singkat KOHATI, adalah lembaga khusus perempuan di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan pada tanggal 2 Jumadil Akhir 1386 Hijriah bertepatan dengan tanggal 17 September 1966 Masehi pada Kongres VIII di Solo dengan tujuan terbinanya muslimah yang berkualitas insan cita. Mengenal KOHATI dan bahkan menjadi pengurus KOHATI  awalnya karna berdirinya Komisariat baru di Kampus, baru lulus LK I dan masih awam soal HMI apalagi KOHATI tiba-tiba langsung menjadi Kabid Pemberdayaan Perempuan yang otomatis menjadi Ketua Umum KOHATI, namun hal itu membuat terus ingin belajar dan mencari tau apa itu KOHATI.

Saking polosnya banyak sekali pertanyaan muncul mengapa harus ada KOHATI? Permasalahan gender kan tidak perlu diwadahi dalam lembaga khusus, cukup HMI saja atau lembaga pemberdayaan perempuan (PP), jika perempuan HMI berkualitas ia seharusnya ia tidak di KOHATI namun berkiprah di HMI, Tengoklah pada suksesi kepemimpinan, masih sangat jarang kita mengangkat dan menempatkan perempuan pada satu pilihan kesetaraan. Jikapun ada  perempuan memimpin, itu tak lebih karena tidak ada pilihan lain. Biasanya perempuan ditempatkan sebagai Bendahara. Minim sekali di bagian lainnya, apalagi sampai ketua umum. Tapi, ya kadangan si HMI-wati masih saja merasa nyaman di zona ini. Persoalan ini, memang banyak kemungkinan. Bisa saja dari kita memang sudah patriarki sejak pikiran, atau juga bisa HMI-Wati masih belum bisa dipandang dalam satu pilihan kesetaraan. Perempuan selalu menuntut kesetaraan namun terkadang justru perempuan itulah yang membatasi dirinya sendiri, seperti yang sering terlihat dalam aksi atau diskusi rata-rata pesertanya adalah laki-laki, ada perempuannya namun tak sebanyak laki-laki, dalam kajian seringkali ingin pulang duluan, apalagi dalam kajian yang mendominasi adalah laki-laki,kadangan perempuan merasa malu dan canggung untuk bergabung.

Pada konteks lainnya, perempuan selalu saja ditempat-perankan di belakang. Anggaplah satu contoh di kepengurusan ada kegiatan. Terus, dikasih pembagian siapa saja yang bertugas dalam kegiatan itu. Si Dian jadi pemateri, si Deka jadi moderator, dan Si Perempuan di dapur: masak-masak. Pada umumnya memang selalu begini. Jika tidak, karena ada persoalan lain.Memang tidak ada salahnya perempuan membantu masak-masak, itu wilayah perkaderan dan perjuangan HMI pula. Tapi, kalau dapat peran masak-masak terus -tidak lainnya, itu yang jadi persoalan. Dan ketika dapat peranan seperti ini terus menurus, jarang ada protes dari kaum perempuan. Padahal sah-sah saja di antara mereka kalau mau bilang: “Cubo, dindo dikasih peran lain kando, jangan masak terus. cak jadi moderator atau jadi pemateri cak itu. Lamo-lamo aku buek warteg bae kalau disuruh masak terus.”

Setelah difikir-fikir dan menjalani, KOHATI adalah wadah yang sangat menarik dan sebuah keberuntungan berada didalamnya, sebenarnya tinggal bagaimana orang-orang yang berada didalamnya (bukan berarti saya sudah sempurna didalamnya ya), layaknya laptop yang sedang mengetik tulisan ini, jika penggunanya bisa memanfaatkan dengan baik, maka laptop ini memiliki manfaat yang sangat banyak baik materi maupun skripsi yang sekarang sedang digarap,hehe. Namun jika tidak bisa menggunakan laptop ini, maka ya tak akan berguna bahkan akan rusak atau eror. artinya semua kembali ke diri masing-masing.

Untuk para perempuan atau HMI-Wati mari kita menjadikan KOHATI yang muncul ke permukaan dan berbicara di depan layar atas nama perkaderan dan perjuangan HMI. Kohati bukan perempuan biasa. Kalau perempuan biasa, yang kata Kanda kita, kami tahu sukanya hanya es krim dan cokelat, walaupun lebih suka kepastian. Tapi, Kohati tidak demikian. Kohati adalah perempuan yang dicitra-dirikan memiliki kemandiran spritual, intelektual atau pendidikan, politik, sosial budaya, dan sampai kemandiran di bidang ekomoni. Dan sosok kohati yang digambarkan sebagai tiang negara, yang apabila perempuan baik maka baiklah negara, dan apabila perempuan rusak maka rusak pulalah negara . Jayalah KOHATI..!!

Kamis, 15 Maret 2018

Perempuan di Era Globalisasi dalam Mencerdaskan Generasi

Perempuan di Era Globalisasi dalam Mencerdaskan Generasi

Oleh: Fitri Noviyanti




Di era globalisasi ini dimana zaman segala sesuatu terjadi tampa batas. Setiap individu seakan dituntut keras untuk berusaha, bersaing dan berjuang untuk bertahan hidup, tampa terkecuali kaum hawa atau perempuan. Menjadi perempuan di era globalisasi tidaklah mudah, perempuan dituntut untuk menjadi cerdas, mandiri dan tangguh. Bahkan setara dengan laki-laki. Perempuan dianggap penting karena dapat meregenerasi. Perkembangan dunia yang semakin maju, maka perempuan juga harus meningkatkan kecerdasanya agar dapat menjadi bekal dalam kehidupanya dan keluarganya, karena ibu yang cerdas akan melahirkan anak yang cerdas dan akan menciptakan bangsa yang cerdas pula sehingga dapat memajukan negara. Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya, maka perempuan harus menyiapkan generasi berkarakter baik. Dalam hadist Rosullullah SAW dikatakan bahwa "Perempuan adalah Tiang negara, apabila perempuanya baik, dan apabila perempuannya rusak, maka rusaklah negara itu". Artinya perempuan adalah kunci untuk mencerdaskan generasi bangsa. Untuk itu sebagai seorang perempuan di era moderen ini tidak cukup mengandalkan polesan kosmetik saja, namun bagiamana bisa menjadi perempuan yang cerdas dan ber Ahlaq mulia. Agar nantinya bisa mendidik generasi, Apabila para perempuan tumbuh dalam ketidaktahuan Maka anak-anak akan menyusu kebodohan dan keterbelakangan.

Surat Izin Mimpi

Untukmu yang masih menjadi rahasia Tuhan namun sudah tertulis di Lauhul Mahfuz Ini adalah mimpiku yang tanpa kudiskusikan kepadamu dahulu. T...