Selasa, 15 Januari 2019

Memilih Pemimpin Berkualitas, Not Money Politics




Oleh : Fitri Noviyanti

Pemilan Umum (Pemilu) untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden 2019 kurang lebih tinggal 2 bulan lagi. Dalam agenda yang telah disepakati pemerintah, DPR dan KPU,  Pemilihan Umum untuk memilih calon Anggota DPR, DPD, DPRD dan Calon Presiden-wakil presiden akan digelar serentak pada 17 April 2019.

Namun, rangkaian tahapan menuju Pilpres dan Pileg sebetulnya sudah mulai sejak tahun lalu, tepatnya pada  1 Oktober 2017 yang dimulai dengan verifikasi Partai Politik peserta pemilu. Agenda berikutnya terkait pasangan Capres-dan Wapres adalah Pengajuan bakal Capres-cawapres yang berlangsung pada Agustus 2018, disusul dengan Penetapan calon Presiden dan wakil presiden pada September 2018. Sedangkan, Masa kampanye dimulai sekitar 13 Oktober 2018 sampai 13 April 2019.

Saat ini, peserta pemilu, dalam hal ini partai-partai politik sudah mulai intens mempersiapkan diri untuk perhelatan besar politik baik Pilkada serentak 2018 maupun Pilpres 2019. Konsolidasi internal, komunikasi antar elit, komunikasi politik, pendekatan ke masyarakat sudah semakin intens. Berbagai bentuk kampanye pun sudah dilakukan mulai dari Media massa, media cetak, kunjungan-kunjungan bahkan blusukan ke pasar-pasar. Hal ini dilakukan sebagai upaya dalam mencari suara dalam Pilpres.

Berangkat dari pemilu sebelumnya dalam mendapatkan suara dari masyarakat berbagai cara pun kerap dilakukan, salah satunya adalah politik uang. Sejak memantau penyelenggaraan pemilu pada Pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014, terjadi lonjakan parah dalam pelanggaran politik uang. Pada Pemilu 2009 lalu, ditemukan 150 kasus pelanggaran politik uang, dan pada tahun ini, jumlahnya naik dua kali lipat yaitu 313 kasus. Pemantauan ICW di 15 provinsi menggambarkan masih maraknya pelanggaran politik uang dalam Pemilu Legislatif 2014. Jumlahnya naik dua kali lipat dibandingkan Pemilu Legislatif 2009. Berdasarkan wilayah pemantauan, Banten menduduki urutan pertama dengan 36 pelanggaran politik uang. Riau dan Bengkulu menyusul dengan jumlah yang sama, yaitu 33 kasus, diikuti Sumatera Barat dengan 30 kasus, dan Sumatera Utara dengan 29 kasus. Padahal sudah jelas dan di atur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Pada Pasal 187A ayat (1), Undang-Undang tentang Pilkada diatur, setiap orang yang sengaja memberi uang atau materi sebagai imbalan untuk memengaruhi pemilih maka orang tersebut dipidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, plus denda paling sedikit Rp 200 juta hingga maksimal Rp 1 miliar.

Pada Pasal 187A ayat (2), diatur ketentuan pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Namun mengapa hal ini masih terjadi?

Penyebab mengapa politik uang masih terjadi yakni kurangnya kesadaran hukum, artinya ini bukan hanya menjadi tugas pengawas pemilu namun juga penegak hukum. Target politik uang biasanya di daerah-daerah yang tingkat pendidikannya rendah, Dimana kurangnya pemahaman hukum yang masih rendah membuat mereka menerima uang, namun sepertinya sekarang bahkan orang yang berpendidikan dan sadar hukum pun berkemungkinan menerima uang dari kandidat yang akan maju. Selain itu faktor ekonomi juga mempengaruhi politik uang, dimana kurangnya pendapatan memungkinkan masyarakat menerima politik uang, seperti dari wawancara beberapa masyarakat yang mengatakan "lebih baik dikebun kerja dapat uang, dari pada memilih presiden nggak dapat uang" ada juga "siapa yang memberi uang, itulah yang saya pilih". Artinya masih banyak masyarakat yang tergiur akan politik uang, jika terus dibiarkan hal ini akan membudaya dan merusak bangsa. Memilih pemimpin berkualitas hendaknya memang dilihat dari kualitasnya sehingga nantinya akan berdampak pada kemajuan bangsa.

Upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah politik uang adalah :
1.Peningkatan pendidikan masyarakat agar lebih mampu memahami aturan-aturan hukum yang ada.

2. Penanaman budaya malu melakukan pelanggaran hukum

3. Penanaman budaya taat hukum lewat pembinaan kesadaran hukum dan pemberian teladan taat hukum

4. Pembinaan tentang paradigma nasional dan tanggungjawab sebagai warga negara.

Sehingga diharapkan dapat terwujudnya Pemilu yang berkualitas dan bebas politik uang, Terpilihnya Presiden, DPR, DPD, dan DPRD yang berkualitas. Terwujudnya demokrasi yang genuine serta Terwujudnya stabilitas nasional.


Sumber Foto : Lintaskatulistiwa.com

Sabtu, 05 Januari 2019

"Teriakan Si Bisu"


Oleh : M. Alfath Harahap


Aku tak pandai berpuisi
Hanya bisa menanggapi Perihal tulisan yang kubaca ini,
Jikalau engkau menuliskan dari sudut pandang mahasiswi, kan ku ungkap teriakan anak kuliah yang tak paham urusan tentang keadaan negeri.

Ada yang bilang negeri ini negeri subur, tapi kelaparan dan gizi buruk masih merajalela dibagian timur.

Tanah surga katanya, tapi orang asing dan penguasa yang menikmati hasil alamnya, pribumi banyak menjadi penjaga sahaja.

Tongkat kayu dan batu jadi tamanan ?
Jikalau itu benar, apakah itu salah satu alasan hutan yang katanya menjadi paru-paru bumi kini banyak yang berasap ?
Karena beranggapan mudah untuk menciptakan hutan baru, ya hutan sawit dan karet yang sekali lagi dikuasai orang asing yang bermodal.

Kita hanya menjadi penonton setia,
Bukan karna tak bisa
Tapi rasa malas itu merajalela
Menjelma jadi budaya
Seakan tak berefek bagi mereka.
Tanpa sadar membuat mereka menjadi budak dirumahnya.

Mereka lebih suka memperdebatkan perihal AGAMA dan pilihan PRESIDENnya.
Mencaci
Mencela
Menghina
Mengyesatkan
Bahkan mengkafirkan orang yang tak sejalan dengan pemikirannya.

Entah lupa atau tak paham makna BHINEKA TUNGGAL IKA.

Itu semua problematika yang tak tahu harus kutanyakan pada siapa.
Haruskah aku mabuk sampai tak berdaya agar imajinasiku mampu bertanya pada TUHAN sang pencipta.

Bengkulu, 06 Januari 2018

Jumat, 04 Januari 2019

"Bukan Catatan Seorang Demonstran"



Masih ingin kududuki bangku Perguruan Tinggi
Menikmati dinamika Mahasiswi
Berkegiatan seni, diskusi dan berorganisasi
Ber Orasi ditengah hujan dan terik matahari
Berkegiatan sana sini
Pergi pagi-pagi
Pulang larut malam hari
Sampai kadang lupa makan nasi

Sungguh nikmat sekali
Hidup ini memang harus dinikmati
Sebenarnya aku tak ingin cepat-cepat pergi
Kenormalan belajar membuatku tak ada alasan lagi
Untuk terus menua disini
Ditambah pasar kampus yang semakin tinggi
Dan aku belum mampu menghidupi diri

Aku bukan anak bidik misi
Tidak juga berprestasi
Aku adalah anak petani kopi
Aku hanya tau diri
Aku yang hidup dari kopi
Yang katanya banyak filosofi
Yang setiap hari banyak sabda soal secangkir kopi

Katanya lulus perguruan tinggi
Membuatku lupa diri dengan gaji
Membuatku lupa pada negeri ini
Membuatku tak turun aksi

Masa mahasiswi
Yang katanya memperjuangkan kaum Mustadafi
Dengan toa ditangan kiri
Bersuara lantang didepan polisi.

Lagi-lagi menarik sekali
Namun aku bukanlah Soe Hok Gie
Yang selalu kuat dalam mendaki
Lalu menulis untuk mengkritik negeri ini
Serta menuangkannya dalam puisi

Aku bukan pendaki
Bukan juga pembuat puisi
Apalagi mahasiswi
hanya saja aku suka menyendiri
Bukan tampa alasan aku pergi
Karna aku menyadari
Jika aku menuakan skripsi
Aku menindas mereka yang membiayai
Aku memang belum mampu memberi
Namun setidaknya aku berusaha tak membebani

~Fitri Noviyanti
Bengkulu, 04 Januari 2018
21.54 WIB

Surat Izin Mimpi

Untukmu yang masih menjadi rahasia Tuhan namun sudah tertulis di Lauhul Mahfuz Ini adalah mimpiku yang tanpa kudiskusikan kepadamu dahulu. T...